Mahasiswa Baru dan Peran Intelektual: Jangan Jadi Iblis Dungu
Lompo Ulu - Mahasiswa baru sering kali memasuki dunia pendidikan tinggi tanpa memahami peran mereka sebagai individu yang harus mampu berpikir dan bermental intelek. Artikel ini akan membahas ancaman "Iblis Dungu" dan pentingnya kesadaran mahasiswa baru terhadap peran mereka dalam mencapai kecerdasan dan kemampuan kritis-analitik.
Mahasiswa Baru dan Peran Intelektual
Anda mahasiswa baru? Selamat! Sudah tahukah anda apa yang Anda cari dengan menjadi mahasiswa? Belum?
Kalau begitu, renungkan dan pikirkan kembali pilihan Anda menjadi mahasiswa.
Tetapi kalau Anda merasa malas merenung apalagi berpikir, baiklah. Pilih saja cara mudah ini, bertanyalah kepada diri Anda sendiri: "Siapakah saya?" Baguslah kalau Anda bisa menjawab: "Saya adalah mahasiswa yang harus mampu berpikir dan bermental intelek!"
Lalu sebagai mahasiswa, apa sesungguhnya masalah Anda? Masalah terbesar Anda adalah ancaman bahwa Anda kelak menjadi sarjana yang bodoh. Ancaman ini serupa iblis paling mengerikan -yang alangkah malangnya- karena sangat jarang disadari mahasiswa bahkan oleh dosen. Iblis Dungu ini telah menguasai banyak sarjana, yang sekarang dengan lugu dan nyaris putus asa, berkeliaran tak tentu di masyarakat.
Kalau Anda tak menyadari ancaman Iblis Dungu, maka ia akan dengan senang hati menerima Anda bergabung ke dalam sektenya. Anda akan dibuat seolah kuliah dan tampak seperti mahasiswa. Mungkin berpenampilan mentereng -dengan pakaian mahal lebih banyak dari jumlah buku yang Anda punya, sebagaimana mahasiswa sekte Iblis Kebodohan lainnya -tetapi dengan otak yang kosong.
Setelah itu, Anda akan diwisuda sebagai sarjana yang bahkan tidak mampu untuk menuliskan satu paragraf isi pemikirannya. Penyebabnya, selain tidak mampu menulis, memang isi pikirannya juga tak ada. Itulah salah satu kemungkinan dari pilihan Anda menjadi mahasiswa.
Pentingnya Membaca, Berdiskusi, dan Menulis
Pilihan lain -yang semestinya- adalah menjalani takdir Anda sebagai mahasiswa. Yakni, banyak membaca buku, rajin berdiskusi, dan menuliskan pikiran-pikiran Anda. Sebab, memang demikianlah ketentuan dari nasib baru manusia modern. Setelah menjalani takdir di atas, Anda sangat mungkin menjadi seorang yang bernalar kritis-analitik, sehingga peka dan berempati terhadap segala sesuatu yang tidak adil.
Memang, ritual bersekolah sampai kuliah, telah banyak ditempatkan kebanyakan orang sebagai perjalanan hidup yang harus dia tempuh. Walaupun belum berusia lama (sekolah pertama kali dibawa penjajah Belanda ke Indonesia di awal abad 20), tetapi sekolah telah menjadi "kewajiban" setiap orang untk didatangi.
Usia seseorang, sebagian besarnya kemudian harus berlepasan di sekolah. Ketika berusia di atas 20 tahun, mereka beramai-ramai berhamburan ke perguruan tinggi. Apa yang sesungguhnya mereka cari, seringkali juga tak sepenuhnya mereka pahami.
Seseorang masuk kuliah, hanya karena orang lain juga kuliah. Ia kuliah hanya karena orang lain kuliah. Selebihnya, ia memiliki sejemput harapan bahwa setelah ia sarjana -tak peduli kualitasnya- dirinya akan mendapatkan pekerjaan.
Jelas, tingkat kesadaran seperti di atas, sangatlah tidak memadai. Sebab, perguruan tinggi, lebih merupakan tempat untuk mendapatkan "suasana" yang mencerdaskan, daripada lembaga keterampilan kerja. Perguruan tinggi sering lebih berupa wadah untuk mendapatkan strategi berpikir ilmiah dibanding memperoleh keterampilan.
Karenanya, kuliah berarti memilih untuk cerdas. Lepas dari apakah pilihan untk kuliah dilakukan secara sadar atau sekedar ikut-ikutan. Singkatnya, kuliah mutlak untuk cerdas. Kalau sudah cerdas, barulah dapat merdeka memilih untuk bekerja. Sebab, bekerja, selain butuh keterampilan, juga butuh kecerdasan.
Itulah sehingga kuliah yang hanya bertujuan mendapatkan ijazah, menjadi tidak berarti untuk dibicarakan. Sayangnya, jumlah orang-orang seperti ini semakin banyak dan terus bertambah. Orang-orang yang malang karena hanya mampu memilih tanpa tahu harus berbuat apa dengan pilihannya.
Kesadaran Mahasiswa dan Pendidikan Tinggi
Ada banyak orang yang dengan angkuh memilih untuk kuliah, tetapi tidak tahu bahwa kuliah berarti kesediaan dan kesenangan bekerja keras untuk membaca buku, berdiskusi, dan menulis. Ada juga sedikit orang yang dengan sombong memilih salah satu untuk membaca, menulis, atau berdiskusi. Ia lupa bahwa orang-orang yang melakukan ketiga hal itu dengan baik, semestinya menjadi lebih rendah hati sebagaimana layaknya orang terpelajar.
Jadi, kuliah (yang didalamnya menyangkut menbaca buku, berdiskusi, dan menulis) adalah takdir yang harus dijalani seorang mahasiswa. Mereka yang memilih jalan bermahasiswa, tetapi tidak menjalankan takdirnya, menjadi mahasiswa semu. Ia tampak seperti mahasiswa, tetapi tidak berisi "gen" yang dapat membuat kita menyebutnya mahasiswa.
Ada banyak mahasiswa seperti ini. Malah ada yang lebih ekstrim dengan berprilaku lebih ekstrim dengan berprilaku primitif. Apakah "gen" dari berkelahi hingga tawuran? Jelas bukan "gen" intelek. Sangat mungkin adalah "gen" bandit dari sekte Iblis Dungu. Sebuah jenis yang jelas tidak cerdas (karena tak baca buku, diskusi, dan menulis) sehingga tidak rendah hati sebagai seorang terpelajar.
Karena itulah kita punya alasan untuk takut kepada orang yang tidak membaca. "Saya sangat takut kepada intelektual yang hanya membaca satu buku dalam setahun," kata Mao Tse-Tung, pemimpin besar China. Sebaliknya, mahasiswa yang intelek sebagaimana kata Antonio Gramsci adalah organisator budaya yang mampu mendominasi perbaikan nasib masyarakat.
Kesimpulan
Mahasiswa baru harus menyadari peran mereka dalam mencapai kecerdasan dan kemampuan kritis-analitik untuk menghindari ancaman Iblis Dungu. Dengan membaca buku, berdiskusi, dan menulis, mahasiswa dapat mengembangkan pemikiran kritis dan menjadi individu yang lebih berempati terhadap isu-isu sosial. Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan ijazah, tetapi juga tentang mengembangkan kecerdasan dan keterampilan yang diperlukan untuk berkontribusi pada masyarakat.
Terima kasih sudah berbagi, artikelnya pun sangat menarik (y)
BalasHapusSalam sukses ..!!